Kemenperin

Kemenperin Dorong Investasi AGC Perkuat Rantai Pasok Kimia Nasional

Kemenperin Dorong Investasi AGC Perkuat Rantai Pasok Kimia Nasional
Kemenperin Dorong Investasi AGC Perkuat Rantai Pasok Kimia Nasional

JAKARTA - Langkah pemerintah Indonesia untuk memperkuat daya saing industri manufaktur nasional kembali mendapat momentum strategis. 

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita secara terbuka mendorong AGC Chemicals Company, salah satu perusahaan kimia terbesar di dunia asal Jepang, agar memindahkan kantor pusat operasional Asia Tenggaranya dari Thailand ke Indonesia.

Dorongan ini bukan sekadar bentuk promosi investasi, melainkan strategi jangka panjang untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai basis industri kimia utama di kawasan.

“Indonesia memiliki pasar besar, tenaga kerja kompetitif, dan ekosistem industri yang semakin matang. Sudah saatnya Indonesia menjadi pusat kendali operasi AGC di Asia Tenggara,” ujar Agus.

Menurut Agus, kepindahan kantor pusat tersebut akan semakin memperkuat komitmen investasi AGC Group yang saat ini telah mencapai 1,6 miliar dolar AS melalui anak perusahaannya, PT Asahimas Chemical. 

Selain itu, langkah ini juga menandakan kepercayaan global terhadap prospek industri manufaktur nasional, yang terus tumbuh positif meski menghadapi tekanan global dan kompetisi antarnegara di Asia.

Tiga Produk Utama dan Ribuan Lapangan Kerja

Perusahaan yang telah beroperasi selama 36 tahun di Cilegon, Banten ini menjadi pemain penting dalam rantai pasok industri kimia Indonesia. 

AGC Asahimas Chemical mempekerjakan lebih dari 3.000 tenaga kerja lokal, sebuah kontribusi besar dalam memperkuat industri dasar yang menopang berbagai sektor turunan.

Perusahaan memproduksi tiga komoditas utama yang menjadi fondasi industri manufaktur:

Polivinil Klorida (PVC) dengan kapasitas 750.000 ton per tahun.

Kaustik Soda (NaOH) berkapasitas 679.800 ton per tahun.

Monomer Vinil Klorida (VCM) dengan kapasitas 800.000 ton per tahun.

Produk-produk tersebut tidak hanya digunakan di dalam negeri, tetapi juga menyokong lebih dari 400 industri turunan seperti pipa plastik, komponen otomotif, peralatan rumah tangga, dan infrastruktur konstruksi. 

Keberadaan AGC Asahimas menjadikan Indonesia salah satu produsen bahan kimia penting di Asia Tenggara yang memiliki potensi besar untuk memperluas pasar ekspor.

Revisi SNI, Bentuk Perlindungan bagi Industri Dalam Negeri

Dalam pertemuan dengan direksi AGC dan Asahimas di Jakarta, Agus menegaskan komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang sehat. Salah satu langkah nyata ialah revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) 59:2017 tentang Resin Polivinil Klorida (PVC).

Revisi tersebut bertujuan untuk menjadikan SNI sebagai instrumen nontarif (Non-Tariff Barrier/NTB) yang mampu melindungi industri domestik sekaligus menjamin keamanan konsumen.

“Revisi SNI ini bukan sekadar panduan teknis, tetapi langkah strategis untuk memperkuat kemandirian industri hulu kita,” tegas Agus.

Ia menambahkan, pendekatan yang dipakai pemerintah menitikberatkan pada pengaturan standar bahan baku, mengingat kandungan merkuri dalam produk akhir sulit dideteksi hanya dengan alat laboratorium. 

Dengan adanya revisi tersebut, pemerintah ingin memastikan produk dalam negeri tetap memenuhi standar keselamatan dan kualitas internasional tanpa merugikan industri lokal.

Kinerja Positif, Tapi Tantangan Masih Besar

Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan bahwa utilisasi produksi PVC nasional mencapai rata-rata 88 persen selama lima tahun terakhir.
Pada tahun 2024, nilai ekspor produk ini mencapai 321,3 juta dolar AS, sementara impor tercatat hanya 53,8 juta dolar AS. Angka tersebut menandakan surplus perdagangan yang mencerminkan daya saing sektor kimia nasional.

Namun demikian, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah peningkatan impor PVC dari China, yang tumbuh 22,2 persen per tahun. Lonjakan ini disebabkan oleh pengalihan arus perdagangan global, terutama karena hambatan nontarif di India dan Australia, yang akhirnya membuat produk China masuk lebih besar ke pasar Indonesia.

Kondisi tersebut menjadi perhatian pemerintah, sebab tanpa regulasi ketat, pasar domestik bisa dibanjiri produk impor murah yang berpotensi mengancam keberlangsungan industri lokal.

Garam dan Gas, Dua Bahan Vital yang Masih Diimpor

Selain kebijakan standar, Menperin juga menyoroti ketersediaan bahan baku garam industri dan pasokan gas yang masih menjadi kendala utama dalam industri kimia.
Keduanya merupakan input vital bagi industri chlor-alkali plant (CAP) dan soda ash, dua bahan kimia utama yang menopang produksi PVC dan NaOH.

Berdasarkan data Kemenperin, kebutuhan garam industri CAP mencapai 2,3 juta ton per tahun, namun pasokan domestik masih bergantung pada impor hingga 90 persen. Ketergantungan tinggi ini membuat biaya produksi meningkat dan mengancam stabilitas pasokan bahan baku.

“Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan industri garam nasional. Pemerintah akan memperkuat industrialisasi garam untuk mendukung substitusi impor dan memastikan ketersediaan bahan baku bagi industri kimia,” jelas Agus.

Dorongan Menuju Transformasi Industri Kimia Nasional

Dorongan pemerintah kepada AGC untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat operasi regional diharapkan menjadi langkah nyata dalam mendorong transfer teknologi, peningkatan kapasitas SDM, dan penguatan rantai pasok industri kimia nasional.

Dengan dukungan regulasi, pasokan bahan baku yang terjamin, serta stabilitas investasi, sektor kimia berpotensi menjadi penopang utama pertumbuhan industri manufaktur Indonesia ke depan.

Kemenperin pun optimistis, dengan iklim investasi yang membaik, proyek hilirisasi industri kimia dasar akan mampu memberikan multiplier effect yang luas — mulai dari penyerapan tenaga kerja, peningkatan ekspor, hingga pengurangan impor bahan baku strategis.

Pada akhirnya, langkah AGC untuk memperluas kehadiran di Indonesia bukan hanya soal lokasi kantor pusat, tetapi simbol kepercayaan global terhadap kekuatan industri nasional.

Jika berhasil, Indonesia tidak hanya akan menjadi basis produksi, melainkan pusat inovasi dan kendali rantai pasok kimia di Asia Tenggara — sebuah lompatan besar menuju kemandirian industri dan daya saing global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index